Sabtu, 05 Januari 2013

Urgensi Fiqh Proiritas dalam Gerakan Pelajar Modern


DI ANTARA konsep terpenting dalam fiqh kita sekarang ini ialah apa yang sering diutarakan dalam berbagai buku yang dinamakan dengan "fiqh prioritas" (fiqh al-awlawiyyat). Sebelum ini digunakan juga istilah lain dalam buku Imam al-Qardhawi yang lain, al-Shahwah al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yaitu fiqh urutan pekerjaan (fiqh maratib al-a'mal).
Yang dimaksud dengan istilah tersebut ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.
"... Cahaya di atas cahaya..." (an-Nuur: 35)
Sehingga sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting. Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat (rajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas sesuatu yang utama, atau yang paling utama.

Sesuatu yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
"Dan Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu." (ar-Rahman:7-9)
Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum, pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada yang berbentuk rukun dan ada pula yang hanya sekadar pelengkap; ada persoalan yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi ada pula yang hanya merupakan persoalan pinggiran; ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama dan ada pula yang tidak utama.
Para sahabat Nabi saw memiliki antusiasme untuk mengetahui amalan yang paling utama (atau yang diprioritaskan), untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu banyak sekali pertanyaan yang mereka ajukan kepada baginda Nabi saw mengenai amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai Allah SWT; sebagaimana pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh Ibn Mas'ud, Abu Dzarr, dan lain-lain. Jawaban yang diberikan Nabi saw atas pertanyaan itupun banyak sekali, sehingga tidak sedikit hadits yang dimulai dengan ungkapan 'Amalan yang paling mulia..."; dan ungkapan 'Amalan yang paling dicintai Allah ialah."
Sebuah contoh sebagaimana tanya jawab dengan Rasul di bawah ini
"Diriwayatkan dari 'Amr bin Abasah r. a. berkata bahwa ada seorang lelaki, yang berkata kepada Rasulullah saw: "Wahai Rasulullah apakah Islam itu? " Beliau menjawab, "Islam itu ialah penyerahan hatimu kepada Allah, dan selamatnya kaum Muslim dari lidah dan tanganmu." Lelaki itu bertanya lagi: "Manakah Islam yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Iman." Lelaki itu bertanya lagi: "Apa pula iman itu?" Beliau menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah mati." Lelaki itu bertanya lagi: "Manakah iman yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Berhijrah." Lelaki itu bertanya lagi. "Apakah yang dimaksud dengan berhijrah itu?" Rasulullah saw menjawab, "Engkau meninggalkan kejelekan." Lelaki itu bertanya kembali: "Manakah hijrah yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad." Dia bertanya lagi: "Apakah yang dimaksud dengan jihad itu?" Beliau menjawab, "Hendaklah engkau memerangi orang-orang kafir apabila engkau berjumpa dengan mereka." Dia bertanya lagi: "Jihad mana yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad orang yang mempersembahkan kuda dan darahnya."
Kacaunya Timbangan Prioritas pada Umat
Apabila kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisinya --baik dari segi material maupun spiritual, dari segi pemikiran, sosial, ekonomi, politik ataupun yang lainnya--maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada umat sudah tidak seimbang lagi.
Kita dapat menemukan di setiap negara Arab dan Islam (termasuk Indonesia) berbagai perbedaan yang sangat dahsyat, yaitu perkara-perkara yang berkenaan dengan dunia seni dan hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam aktivitas pemudanya kita menemukan bahwa perhatian terhadap olahraga lebih diutamakan atas olah akal pikiran, sehingga makna pembinaan remaja itu lebih berat kepada pembinaan sisi jasmaniah mereka dan bukan pada sisi yang lainnya. Lalu, apakah manusia itu dinilai hanya badan saja, akal pikiran saja, ataukah jiwa saja?
Dahulu kita sering menghafal sebuah kasidah Abu al-Fath al-Bisti yang sangat terkenal. Yaitu kasidah berikut ini:
"Wahai orang yang menjadi budak badan, sampai kapan engkau hendak mempersembahian perkhidmatan kepadanya. Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan dari sesuatu yang mengandung kerugian? Berkhidmatlah pula kepada jiwa, dan carilah berbagai keutamaan padanya, Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa dan bukan dengan badan"
Kita juga hafal apa yang dikatakan oleh Zuhair ibn Abi Salma dalam Mu'allaqat-nya:
"Lidah seorang pemuda itu setengah harga dirinya, dan setengah lagi adalah hatinya. Jika keduanya tidak ada pada dirinya, maka dia tiada lain hanya segumpal daging dan darah."
Akan tetapi kita sekarang ini menyaksikan bahwa manusia dianggap sebagai manusia dengan badan dan otot-ototnya, sebelum menimbang segala sesuatunya. Setiap libur musim panas hingga saat ini pun, perbincangan yang terjadi di dunia (terutama remaja) kecuali perbincangan di seputar bintang sepak bola yang dipamerkan untuk dijual. Harga pemain ini semakin meninggi bila ada tawar-menawar antara beberapa klub sepak bola, sehingga mencapai £80 (sekitar 1,174 Triliun Rupiah).
Jarang sekali mereka yang mengikuti perkembangan dunia olahraga, khususnya olahraga yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hanya menumpukan perhatian terhadap pertandingan olahraga, khususnya sepak bola yang hanya dimainkan beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya hanya menjadi penonton mereka.
Sesungguhnya bintang masyarakat, dan nama mereka yang paling cemerlang bukanlah ulama atau ilmuwan, bukan pemikir atau juru da'wah; akan tetapi mereka adalah apa yang kita sebut sekarang dengan para aktor dan aktris, pemain sepak bola, dan sebagainya. Surat kabar dan majalah, televisi dan radio, hanya memperbincangkan kehidupan, tingkah laku, "kejayaan," petualangan, dan berita di sekitar mereka, walaupun tidak berharga. Sedangkan orang-orang selain mereka tidak pernah diliput, dan bahkan hampir dikesampingkan atau dilupakan.
Apabila ada seorang seniman yang meninggal dunia, seluruh dunia gempar karena kematiannya, dan semua surat kabar berbicara tentang kematiannya. Namun apabila ada seorang ulama, ilmuwan, atau seorang profesor yang meninggal dunia, seakan-akan tidak ada seorangpun yang membicarakannya. Kalau dilihat dari segi material, perhatian mereka kepada dunia olahraga dan seni memakan biaya sangat tinggi; yaitu untuk membiayai publikasi, dan keamanan penguasa, yang mereka sebut sebagai biaya "keamanan negara"; dimana tidak ada seorang pun dapat menolak atau mengawasinya. Mengapa semua itu bisa terjadi?
Pada saat yang sama, lapangan dunia pendidikan, kesehatan, agama, dan perkhidmatan umum, sangat sedikit mendapat dukungan dana; dengan alasan tidak mampu atau untuk melakukan penghematan, terutama apabila ada sebagian orang yang meminta kepada mereka sumbangan untuk melakukan peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menghadapi perkembangan zaman.
Persoalannya adalah seperti yang dikatakan orang: "Penghematan di satu sisi, tetapi di sisi lain terjadi pemborosan"; sebagaimana yang pernah dikatakan Ibn al-Muqaffa,: "Aku tidak melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di sampingnya ada hak yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan itu."
Maka patut menjadi refleksi bagi setiap pimpinan IPM di berbagai daerah, apakah kegiatan yang selama ini dilakukan sudah menyentuh permasalahan utama umat yang seharusnya menjadi prioritas? Atau jangan-jangan masih terjebak kepada kegiatan bersifat seremonial formalitas yang asal terlaksana.
Masalah di pelajar pun telah sangat banyak dan kompleks. Mulai dari kecanduan teknologi (game komputer, TV, internet), sulit memahami pelajaran, kecemasan ujian, tekanan dari orang tua, terlalu banyak beban pelajaran yang menyita waktu, kurang motivasi, guru-guru yang membosankan. tidak tertarik pada silabus pembelajaran, hingga masalah tawuran yang akhir-akhir ini merebak. Semuanya butuh penyelesaian tuntas, namun tidak semua masalah tersebut bisa hilang dalam satu gebrakan. Butuh prioritas yang jelas dan pasti untuk menyelesaikannya perlahan.
Kejadian yang banyak terjadi, Pimpinan IPM di berbagai daerah banyak yang memiliki pemikiran-pemikiran jangka panjang, namun tidak berdasarkan proiritas yang tepat. Seringkali kita terjebak oleh rutinitas Taruna Melati dan musyawarah-musyawarah di lingkup masing-masing yang menyita banyak waktu dan pikiran. Banyak yang berkoar-koar mengenai tawuran, UN, sex bebas, dan berbagai wacana lain namun terlupakan oleh masalah pelajar yang lebih esensial seperti aqidah, ibadah, dan kualitas para pimpinan itu sendiri.
Harapannya, dengan kajian mendalam kita bisa lebih memahami pembagian prioritas ini, dan melihat bagaimana al-Qur’an dan Hadits menuntun kita menentukan prioritas gerakan. Wallahu a’lam bish-showab…
#KDIPDIPMSleman


[+/-] Selengkapnya...