DI ANTARA konsep terpenting dalam fiqh kita sekarang ini
ialah apa yang sering diutarakan dalam berbagai buku yang dinamakan dengan
"fiqh prioritas" (fiqh al-awlawiyyat). Sebelum
ini digunakan juga istilah lain dalam buku Imam al-Qardhawi yang lain, al-Shahwah
al-Islamiyyah bayn al-Juhud wa al-Tatharruf, yaitu fiqh urutan pekerjaan (fiqh
maratib al-a'mal).
Yang dimaksud
dengan istilah tersebut ialah meletakkan segala sesuatu pada peringkatnya
dengan adil, dari segi hukum, nilai, dan pelaksanaannya. Pekerjaan yang
mula-mula dikerjakan harus didahulukan, berdasarkan penilaian syari'ah yang
shahih, yang diberi petunjuk oleh cahaya wahyu, dan diterangi oleh akal.
"... Cahaya di atas cahaya..." (an-Nuur: 35)
Sehingga
sesuatu yang tidak penting, tidak didahulukan atas sesuatu yang penting.
Sesuatu yang penting tidak didahulukan atas sesuatu yang lebih penting. Sesuatu
yang tidak kuat (marjuh) tidak didahulukan atas sesuatu yang kuat
(rajih). Dan sesuatu "yang biasa-biasa" saja tidak didahulukan atas
sesuatu yang utama, atau yang paling utama.
Sesuatu
yang semestinya didahulukan harus didahulukan, dan yang semestinya diakhirkan
harus diakhirkan. Sesuatu yang kecil tidak perlu dibesarkan, dan sesuatu yang
penting tidak boleh diabaikan. Setiap perkara mesti diletakkan di tempatnya dengan
seimbang dan lurus, tidak lebih dan tidak kurang. Sebagaimana difirmankan oleh
Allah SWT:
"Dan
Allah SWT telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu." (ar-Rahman:7-9)
Dasarnya ialah bahwa sesungguhnya nilai, hukum,
pelaksanaan, dan pemberian beban kewajiban menurut pandangan agama ialah berbeda-beda
satu dengan lainnya. Semuanya tidak berada pada satu tingkat. Ada yang
besar dan ada pula yang kecil; ada yang pokok dan ada pula yang cabang; ada
yang berbentuk rukun dan ada pula yang hanya sekadar pelengkap; ada persoalan
yang menduduki tempat utama (esensi) tetapi ada pula yang hanya merupakan
persoalan pinggiran; ada yang tinggi dan ada yang rendah; serta ada yang utama
dan ada pula yang tidak utama.
Para
sahabat Nabi saw memiliki antusiasme untuk mengetahui amalan yang paling utama
(atau yang diprioritaskan), untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh
karena itu banyak sekali pertanyaan yang mereka ajukan kepada baginda Nabi saw mengenai
amalan yang paling mulia, amalan yang paling dicintai Allah SWT; sebagaimana
pertanyaan yang pernah dikemukakan oleh Ibn Mas'ud, Abu Dzarr, dan lain-lain. Jawaban yang diberikan Nabi saw atas pertanyaan itupun
banyak sekali, sehingga tidak sedikit hadits yang dimulai dengan ungkapan 'Amalan
yang paling mulia..."; dan ungkapan 'Amalan yang paling dicintai Allah
ialah."
Sebuah contoh
sebagaimana tanya jawab dengan Rasul di bawah ini
"Diriwayatkan dari 'Amr bin Abasah r. a. berkata
bahwa ada seorang lelaki, yang berkata kepada Rasulullah saw: "Wahai
Rasulullah apakah Islam itu? " Beliau menjawab, "Islam itu
ialah penyerahan hatimu kepada Allah, dan selamatnya kaum Muslim dari lidah dan
tanganmu." Lelaki itu bertanya lagi: "Manakah
Islam yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Iman."
Lelaki itu bertanya lagi: "Apa pula iman itu?" Beliau
menjawab, "Engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya,
rasul-rasul-Nya, hari kebangkitan setelah mati." Lelaki itu bertanya
lagi: "Manakah iman yang paling utama?" Rasulullah saw
menjawab, "Berhijrah." Lelaki itu bertanya lagi. "Apakah
yang dimaksud dengan berhijrah itu?" Rasulullah saw menjawab, "Engkau
meninggalkan kejelekan." Lelaki itu bertanya kembali: "Manakah
hijrah yang paling utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad."
Dia bertanya lagi: "Apakah yang dimaksud dengan jihad itu?" Beliau
menjawab, "Hendaklah engkau memerangi orang-orang kafir apabila engkau berjumpa
dengan mereka." Dia bertanya lagi: "Jihad mana yang paling
utama?" Rasulullah saw menjawab, "Jihad orang yang
mempersembahkan kuda dan darahnya."
Kacaunya
Timbangan Prioritas pada Umat
Apabila
kita memperhatikan kehidupan kita dari berbagai sisinya --baik dari segi
material maupun spiritual, dari segi pemikiran, sosial, ekonomi, politik
ataupun yang lainnya--maka kita akan menemukan bahwa timbangan prioritas pada
umat sudah tidak seimbang lagi.
Kita dapat
menemukan di setiap negara Arab dan Islam (termasuk Indonesia) berbagai perbedaan
yang sangat dahsyat, yaitu perkara-perkara yang berkenaan dengan dunia seni dan
hiburan senantiasa diprioritaskan dan didahulukan atas persoalan yang
menyangkut ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dalam aktivitas pemudanya kita menemukan
bahwa perhatian terhadap olahraga lebih diutamakan atas olah akal pikiran, sehingga
makna pembinaan remaja itu lebih berat kepada pembinaan sisi jasmaniah mereka
dan bukan pada sisi yang lainnya. Lalu, apakah manusia itu dinilai hanya badan
saja, akal pikiran saja, ataukah jiwa saja?
Dahulu
kita sering menghafal sebuah kasidah Abu al-Fath al-Bisti yang sangat terkenal.
Yaitu kasidah berikut ini:
"Wahai
orang yang menjadi budak badan, sampai kapan engkau hendak mempersembahian
perkhidmatan kepadanya. Apakah engkau hendak memperoleh keuntungan dari sesuatu
yang mengandung kerugian? Berkhidmatlah pula kepada jiwa, dan carilah berbagai keutamaan
padanya, Karena engkau dianggap sebagai manusia itu dengan jiwa dan bukan
dengan badan"
Kita juga
hafal apa yang dikatakan oleh Zuhair ibn Abi Salma dalam Mu'allaqat-nya:
"Lidah
seorang pemuda itu setengah harga dirinya, dan setengah lagi adalah hatinya.
Jika keduanya tidak ada pada dirinya, maka dia tiada lain hanya segumpal daging
dan darah."
Akan
tetapi kita sekarang ini menyaksikan bahwa manusia dianggap sebagai manusia
dengan badan dan otot-ototnya, sebelum menimbang segala sesuatunya. Setiap libur
musim panas hingga saat ini pun, perbincangan yang terjadi di dunia (terutama
remaja) kecuali perbincangan di seputar bintang sepak bola yang dipamerkan
untuk dijual. Harga pemain ini semakin meninggi bila ada tawar-menawar antara
beberapa klub sepak bola, sehingga mencapai £80 (sekitar 1,174 Triliun Rupiah).
Jarang
sekali mereka yang mengikuti perkembangan dunia olahraga, khususnya olahraga
yang bermanfaat bagi manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari. Mereka hanya
menumpukan perhatian terhadap pertandingan olahraga, khususnya sepak bola yang
hanya dimainkan beberapa orang saja, sedangkan yang lainnya hanya menjadi
penonton mereka.
Sesungguhnya
bintang masyarakat, dan nama mereka yang paling cemerlang bukanlah ulama atau
ilmuwan, bukan pemikir atau juru da'wah; akan tetapi mereka adalah apa yang
kita sebut sekarang dengan para aktor dan aktris, pemain sepak bola, dan sebagainya.
Surat kabar dan majalah, televisi dan radio, hanya memperbincangkan kehidupan,
tingkah laku, "kejayaan," petualangan, dan berita di sekitar mereka,
walaupun tidak berharga. Sedangkan orang-orang selain mereka tidak pernah diliput,
dan bahkan hampir dikesampingkan atau dilupakan.
Apabila
ada seorang seniman yang meninggal dunia, seluruh dunia gempar karena
kematiannya, dan semua surat kabar berbicara tentang kematiannya. Namun apabila
ada seorang ulama, ilmuwan, atau seorang profesor yang meninggal dunia, seakan-akan
tidak ada seorangpun yang membicarakannya. Kalau dilihat dari segi material,
perhatian mereka kepada dunia olahraga dan seni memakan biaya sangat tinggi;
yaitu untuk membiayai publikasi, dan keamanan penguasa, yang mereka sebut
sebagai biaya "keamanan negara"; dimana tidak ada seorang pun dapat
menolak atau mengawasinya. Mengapa semua itu
bisa terjadi?
Pada saat yang sama, lapangan dunia pendidikan,
kesehatan, agama, dan perkhidmatan umum, sangat sedikit mendapat dukungan dana;
dengan alasan tidak mampu atau untuk melakukan penghematan, terutama apabila
ada sebagian orang yang meminta kepada mereka sumbangan untuk melakukan
peningkatan sumber daya manusia dalam rangka menghadapi perkembangan zaman.
Persoalannya
adalah seperti yang dikatakan orang: "Penghematan di satu sisi, tetapi
di sisi lain terjadi pemborosan"; sebagaimana yang pernah dikatakan
Ibn al-Muqaffa,: "Aku tidak melihat suatu pemborosan terjadi kecuali di
sampingnya ada hak yang dirampas oleh orang yang melakukan pemborosan
itu."
Maka patut
menjadi refleksi bagi setiap pimpinan IPM di berbagai daerah, apakah kegiatan
yang selama ini dilakukan sudah menyentuh permasalahan utama umat yang
seharusnya menjadi prioritas? Atau jangan-jangan masih terjebak kepada kegiatan
bersifat seremonial formalitas yang asal terlaksana.
Masalah
di pelajar pun telah sangat banyak dan kompleks. Mulai dari kecanduan teknologi (game komputer,
TV, internet), sulit memahami pelajaran, kecemasan ujian, tekanan dari orang
tua, terlalu banyak beban pelajaran yang menyita waktu, kurang motivasi, guru-guru
yang membosankan. tidak tertarik pada silabus pembelajaran, hingga masalah
tawuran yang akhir-akhir ini merebak. Semuanya butuh penyelesaian tuntas, namun
tidak semua masalah tersebut bisa hilang dalam satu gebrakan. Butuh prioritas
yang jelas dan pasti untuk menyelesaikannya perlahan.
Kejadian yang
banyak terjadi, Pimpinan IPM di berbagai daerah banyak yang memiliki
pemikiran-pemikiran jangka panjang, namun tidak berdasarkan proiritas yang
tepat. Seringkali kita terjebak oleh rutinitas Taruna Melati dan musyawarah-musyawarah
di lingkup masing-masing yang menyita banyak waktu dan pikiran. Banyak yang
berkoar-koar mengenai tawuran, UN, sex bebas, dan berbagai wacana lain namun terlupakan
oleh masalah pelajar yang lebih esensial seperti aqidah, ibadah, dan kualitas
para pimpinan itu sendiri.
Harapannya,
dengan kajian mendalam kita bisa lebih memahami pembagian prioritas ini, dan
melihat bagaimana al-Qur’an dan Hadits menuntun kita menentukan prioritas
gerakan. Wallahu a’lam bish-showab…
#KDIPDIPMSleman