IPM kini telah berusia lebih dari
setengah abad. Ini menandakan bahwa telah banyak sejarah yang telah ditorehkan
oleh IPM. Tidak hanya itu, IPM juga telah melahirkan tokoh-tokoh besar di
negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa IPM tidak hanya berkontribusi pada
Muhammadiyah tetapi juga bangsa Indonesia.
Sejak IPM lahir
sampai sekarang, telah banyak proses dinamika yang dialami oleh IPM. IPM
sebagai gerakan dakwah pelajar selalu dihadapkan dengan problematika yang
beragam di setiap masanya. Di saat IPM lahir, IPM dihadapkan pada kondisi
merebaknya ideologi komunis yang mengarah pada atheisme yang berujung pada
upaya untuk mengganti dasar
negara Pancasila. Di Era Orde
Baru IPM dihadapkan pada kebijakan pemerintah yang melarang adanya organisasi
pelajar di sekolah kecuali OSIS sehingga menuntut IPM harus merubah nama
menjadi IRM pada tahun 1992. Pasca reformasi, tahun 2008 saat Muktamar IPM XVI
di Surakarta, IRM akhirnya kembali berubah namanya menjadi IPM. Pada saat
inilah basis masa IPM yang sebelumnya adalah remaja menjadi fokus pada pelajar.
Namun pada kenyataannya, hingga 4
tahun sejak peneguhan kembali IPM, proses transisi ini tidak dibarengi dengan
pemahaman masyarakat pelaku pendidikan di tingkat operasional. Akibatnya, langkah IPM-isasi di sekolah
Muhammadiyah – khususnya di Kabupaten Sleman sedikit tersendat.
Realita yang terjadi di lapangan
bisa dibagi menjadi 3 golongan
1. Sekolah
mantap ber-IPM, yaitu sekolah yang telah memahami IPM sebagai gerakan dakwah,
kaderisasi, sekaligus organisasi kesiswaan di sekolah. Sayangnya, dari 48
sekolah di kabupaten Sleman, golongan ini termasuk minoritas.
2. Sekolah
dengan dualisme OSIS – IPM, yaitu sekolah yang menerapkan sistem OSIS sebagai
organisasi kesiswaan di sekolahnya. Mulai dari struktur, lambang, dan nama
bidang memakai rujukan OSIS. Namun ketika menghadiri kegiatan IPM atau
Muhammadiyah, tiba-tiba nama OSIS berubah menjadi IPM. Dalam pandangan golongan
ini, IPM tidak jauh berbeda dengan OSIS, hanya namanya saja yang berbeda.
3. Sekolah
murni OSIS, yaitu sekolah yang menerapkan secara utuh sistem OSIS sebagai
gerakan kesiswaan di sekolahnya. Adapun IPM hanya ditempatkan sebagai kegiatan
ekstrakulikuler yang tidak memiliki legalitas pasti di sekolah. Implikasinya,
ada atau tidaknya IPM tidak akan berpengaruh kepada proses kependidikan di
sekolah.
Dari realita di atas, poin nomor
2 menduduki peringkat kuantitas pertama, lebih dari 50% sekolah Muhammadiyah di
kabupaten Sleman masih menerapkan pemahaman nomor 2. Sedangkan golongan nomor 1
memiliki presentase sekitar 40%. Artinya, ada belasan sekolah dari 48 SMP, SMA dan
SMK di Sleman yang benar-benar menerapkan IPM di sekolahnya. Sisanya menempati
golongan ke 3. Tentu ini menjadi sebuah PR besar bagi IPM Sleman saat ini. Sebelum
bicara banyak tentang ideologi dan gerakan pelajar dengan buntut panjangnya,
keseragaman langkah menjadi syarat penting dari perubahan besar yang menjadi
cita cita IPM.
“Sesungguhnya Allah
menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur
seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (as-Shaff: 4)
..to be continous.......,
..to be continous.......,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar