Pada masa pra Islam, belum ada
ketentuan mengenai jumlah wanita yang boleh dikawini. Belum ada batas, patokan,
ikatan, dan syarat. Maka seorang laki-laki boleh saja kawin dengan sekehendak
hatinya. Hal ini memang berlaku pada bangsa-bangsa terdahulu, sehingga
diriwayatkan dalam Perjanjian Lama bahwa Daud mempunyai seratus orang isteri
dan Sulamin mempunyai tujuh ratus orang isteri serta tiga ratus orang gundik.
Ketika Islam datang,
dibatalkanlah perkawinan yang lebih dari empat orang. Apabila ada orang yang
masuk Islam sedang dia mempunyai isteri lebih dair empat orang, maka Nabi saw.
bersabda kebadanya:
"Pilihlah empat orang di antara mereka, ceraikanlah yang
lain"
Jadi, mumlah isteri maksimal
empat orang, tidak boleh lebih dan syarat yang harus dipenuhi dalam poligami
ini adalah bersikap adil terhadap isteri-isterinya. Kalau tidak dapat berlaku
adil, cukuplah seorang isteri saja, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
kawinilah seorang saja..."(An Nisa': 3)
Inilah aturan yang dibawa oleh
Islam. Tetapi Allah Azza wa Jallah mengkhususkan untuk Nabi saw. dengan sesuatu
yang tidak diberikan kepada kaum mukmin lainnya, yaitu beliau diperbolehkan
melanjutkan hubungan perkawinan dengan isteri-isteri yang telah beliau kawini
dan tidak mewajibkan beliau menceraikan mereka, tidak boleh menukar mereka,
tidak boleh menambah, dan tidak mengganti seroang pun dengan orang lain:
"Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan
tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun
kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang
kamu miliki..." (Al Ahzab: 52)
Rahasia semua itu ialah bahwa
isteri-isteri Nabi saw. mempunyai kedudukan khusus dan istimewa yang oleh Al
Quran dikatakan sebagai "ibu-ibu kaum mukmin" secara keseluruhan.
Allah berfirman:
" Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari
diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka..." (Al
Ahzab 6)
Di antara cabang hubungan keibuan
ruhiyyah terhadap orang orang mukmin ini, maka Allah mengharamkan mereka
(isteri-isteri Nabi saw) kawin dengan seorang pun sepeninggal Rasulullah saw.
Firman-Nya:
"...Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak
(pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat..."(Al
Ahzab 53)
Hal ini berarti bahwa wanita yang
telah putus hubungan perkawinannya dengan Rasulullah saw. seumur hidupnya tidak
boleh kawin dengan lelaki lain, karena ada halangan perhubungan kekeluargaan
dengan rumah tangga kenabian.
Selanjutnya, kalau kita bayangkan
bahwa Allah SWT menyuruh Nabi memilih empat orang --untuk menjadi ibu-ibu kaum
mukmin-- di antara sembilan isteri beliau, dan menceraikan lima orang lainnya
yang berarti menghalangi mereka untuk mendapatkan kemuliaan, ini tentu
merupakan sesuatu yang sangat sulit. Siapakah di antara wanita-wanita utama itu
yang harus dijauhkan dari rumah tangga kenabian dan dijauhkan dari kemuliaan
yang telah mereka peroleh itu?
Karena itu, berlakulah
kebijaksanaan dan hikmah Ilahi agar mereka tetap mejadi isteri-isteri beliau,
sebagai kehususan bagi Rasul yang mulia dan sebagai pengecualian dari qaidah
umum. Allah berfirman:
"...dan bahwasanya karunia itu adalah di tangan Allah. Dia berikan
karunia itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang
besar"(Al Hadid:29)
Adapun masalah perkawinan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dengan
sembilan istri, rahasianya sudah dimaklumi dan hikmahnya sudah tidak samar
lagi. Semua perkawinan yang dilakukan Nabi itu tidak mempunyai tujuan
sebagaimana yang difitnahkan kaum orientalis dan misionarois. Bukan syahwat dan
bukan pula aspek biologis yang mendorong Nabi dalam mengawini setiap mereka.
Kalau yang mendorong beliau melakukan perkawinan seperti yang dikatakan dan
didesas-desuskan oleh para pembohong dan dajjal-dajjal itu, niscaya kita tidak
akan melihat beliau yang masih muda belia dan penuh vitalitas, dan dalam usia
yang potensial ini membuka lembaran hidupnya dengan mengawini wanita yang lima
belas tahun lebih muda daripada usianya sendiri.
Beliau mengawini Khadijah ketika
berusia dua puluh lima tahun sementara khadijah berusia empat puluh tahun dan
sebelumnya telah menikah dua kali dan punya beberapa orang anak. Kalau Nabi
menikah karena syahwat dan dorongan biologis, tak mungkin beliau menghabiskan
usia mudanya yang merupakan usia paling menyenangkan dalam kehidupan bersuami
istri beliau gunakan untuk hidup bersama wanita tua. Tahun kematian Khadijah
saja disebut dengan "'Amul Huzni" (Tahun Duka Cita). Beliau selalu
memuji Khadijah dengan penuh kecintaan dan penghormatan sampai meninggal dunia,
sehingga Aisyah r.a merasa cemburu kepadanya (Khadijah) yang sudah berada di
dalam kubur itu.
Setelah beliau berusia tiga puluh
lima tahun, yakni setelah Khadijah wafat setelah hijrah, baru beliau mengawini istri-istri beliau yang
lain, yaitu mengawini Saudah binti Zum’ah, seorang wanita tua, untuk memelihara
rumah tangga beliau.
Kemudian beliau hendak mempererat
hubungan antara beliau dengan teman dan sahabatnya, Abu Bakar:
“......salah seorang dari dua orang ketika beliau
berada dalam gua.....” (at-Taubah: 40)
Beliau mengawini anak perempuan
sahabatnya itu, yakni Aisyah yang masih kecil dan belum mengerti syahwat,
tetapi beliau hendak menyenangkan hati Abu bakar.
Kemudian karena melihat Abu Bakar
dan Umar sebagai wazir Rasulullah dan beliau ingin agar kedudukan keduanya sama
di sisi beliau, maka dikawinilah Hafshah binti Umarm sebagaimana sebelumnya
beliau telah mengawinkan Ali bin Abi Thalib dnegan putri beliau Fatimah, dan
mengawinkan Utsman bin Affan dengan putri beliau, Ruqayah dan Ummu Kultsum.
Hafshah binti Umar ini adalah
seorang janda, dan parasnya tidak cantik. Demikian juga Ummu Salamah yang
beliau kawini ketika telah menjadi
janda. Ketika suaminya, Abu Salamah masih hidup, Ummu Salamah beranggapan tidak
ada lelaki yang lebih utama daripada suaminya. Ketika Ummu Salamah hijrah bersama
suaminya, mereka mendapat gangguan karena mempertahankan Islam. Suaminya pernah
mengajarkan apa yang didengarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan doa ketika tertimpa
musibah yang berbunyi:
“ Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kami akan kembali
kepada-Nya. Ya Allah, berilah kami pahala dalam musibah kami, dan berilah kami
ganti yang lebih baik daripadanya”
Ketika ia mengucap doa itu
setelah suaminya meninggal, ia bertanya-tanya dalam hati: siapakah yang lebih
baik daripada Abu Salamah? Tetapi Allah azza
wa jalla memberinya ganti daripada Abu Salamah, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi
meminanganya untuk menghilangkan musibah (kesedihannya) dan menambal keretakan
hatinya, serta menggantikan suaminya setelah
ia berhijrah, meninggalkan keluarganya, dan kembali lagi kepada mereka yang
semuanya dilakukannya demi Islam.
Demikian pula Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengawini
Juariyah binti Al-Harits ialah untuk mengislamkan kaumnya dan menjadikan mereka
bangga terhadap agama Allah. Diceritakan bahwa para sahabat setelah menawan
beberapa orang pada waktu peperangan Bani Mushthaliq dan Juariyah termasuk
salah seorang dari tawanan-tawanan itu. Tahu bahwa Nabi telah mengawini
Juariyah, lalu para sahabat itu memerdekakan tawanan-tawanan dan budak-budak
mereka, karena mereka (kaum Bani Mushtaliq) telah bersemenda (menjalin hubungan
keluarga) dengan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Jadi, perkawinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan masing-masing
istri beliau itu mempunyai hikmah sendiri-sendiri.
Begitu juga perkawinan beliau
dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Ummu Habibah ini pernah hijrah ke Habsyi
bersama suaminya. Tetapi malang, setelah sampai di negeri tersebut suaminya
murtad.
Wanita ini (Ummu Habibah) adalah
anak perempuan Abu Sufyan, pemuka kaum musyrik yang getol memusuhi umat Islam.
Ummu Habibah meninggalkan ayahnya, dan ia lebih mengutamakan hijrah bersama
suanminya, berlari meninggalkan agamanya. Kemudian suaminya membelot (murtad),
dan Ummu Habibah sendirian dalam keterasingan. Maka apakah yang harus dilakukan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Apakah
beliau harus membiarkannya terkantung-kantung tanpa dipelihara dan
diperhatikan? Tidak, tidak begitu! Beliau datang untuk menghilangkan gundah
gulananya dan menenangkan hatinya. Lalu beliau mengutus Raja Najasyi untuk
mewakili beliau mengawini Ummu Habibah dan membayar maharnya. Terjadilah
perkawinan antara beliau dan Ummu Habibah yang keduanya terpisah oleh lautan
dan padang pasir. Perkawinan ini beliau lakukan untuk memperbaiki keadaannya
dalam keterasingan seperti itu.
Hikmah lain dari perkawinan ini
ialah diharapkan akan timbul kesan dan dampak yang baik dalam hati Abu Sufyan,
yaitu menghentikan sikap permusuhannya dan mengurangi ketidaksengangannya
terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam setelah terjadi ikatan keluarga di antara keduanya.
Kalau kita cari latar belakang
perkawinan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan istri-istri beliau ini, niscaya akan kita dapati hikmah yang
hendak beliau capai. Jadi, perkawinan beliau bukan karena syahwat, bukan karena
mencari kelezatan, bukan karena cinta dunia, tetapi untuk hikmah-hikmah dan
kemashlahatan-kemashlahatan, serta untuk mengikat manusia dengan agama Islam
ini. Terlebih karena ikatan nasab itu memiliki nilai yang sangat besar dan
berpengaruh sangat mendalam di negara-negara arab.
Di samping itu, tujuan beliau
menikahi mereka agar mereka menjadi ibu-ibu kaum mukmin dan menjadi guru ummat
dalam masalah keluarga dan wanita sepeninggal beliau. Mereka diharapkan
nantinya dapat meriwayatkan kehidupan rumah tangga beliau kepada ummat manusia,
hingga mengenai masalah yang paling khusus. Sebab tidak ada satupun aspek
kehidupan beliau yang haurs dirahasiakan dari orang banyak.
Tidak ada satu orangpun dalam
sejarah yang tidak memiliki rahasia yang selalu ditutup-tutupi, tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ceritakanlah kepada orang banyak tentang
aku”. keterbukaan beliau ini tidak lain untuk mengajari dan membimbing
ummat Islam.
Sumber:
Qardhawi, Yusuf. 1995. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I. Jakarta: Gema Insani press
untuk referensi lain yang lebih komprehensif bisa download e-book tentang poligami di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar