Rabu, 28 Maret 2012

Meluruskan Riwayat Ahmad Dahlan Dalam Novel “Sang Pencerah”

Novel Sang Pencerah menceritakan riwayat hidup KH.Ahmad Dahlan. Perjuangan beliau dalam dakwah patut menjadi teladan, kesabaran dan keistiqomahan tidak diragukan lagi. Beliau melakukan pembaruan dalam dunia Islam di Indonesia melalui organisasi yang bernama Muhammdiyah (1912), organisasi tertua yang kemudian disusul dengan berdirinya NU (Nahdatul Ulama) yang berdiri tahun 1926. Namun, ada hal–hal yang perlu diperhatikan, beberapa penyimpangan mengenai riwayat KH. Ahmad Dahlan pada novel tersebut. Tulisan ini bertujuan untuk meluruskan beberapa penyimpangan dalam menulis riwayat KH. Ahmad Dahlan dalam novel Sang Pencerah karya Akmal Nasery Basral.

Dalam prolog novel tersebut tercatat tahun 1904, KH. Ahmad Dahlan yang sebelumnya bernama Muhammad Darwis, berada di Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sedang menghadap Sri Sultan Hamengkubowono VII, dan Sri Sultan memerintahkan agar KH. Ahmad Dahlan untuk kembali ke Mekkah. Tahun 1904, seharusnya beliau sudah pulang ke Yogyakarta setelah untuk yang kedua kalinya beliau pergi ke Mekkah selama tiga tahun, dari tahun 1902 sampai 1904. Pada tahun tersebut pula KH. Ahmad Dahlan sempat berguru dengan KH. Hasyim Asy’ari, pendiri kelompol Nahdatul Ulama.
Sebelumnya, pada tahun 1883 sampai 1888 KH. Ahmad Dahlan pergi haji sekaligus belajar di Mekkah, beliau mempelajari buku-buku terbitan Mesir dan Irak selain dari terbitan Mekkah, dan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, Jamaludin Al Afghani, Rasyid Ridha dan Imam Ibnu Taimiyah. Sepulangnya dari Mekkah pada kepergiannya yang pertama, KH. Ahmad Dahlan menikahi sepupunya sendiri, Walidah. KH. Ahmad Dahlan tidak pernah bertemu dengan Rasyid Ridho untuk pergi haji yang kedua kalinya (1902), dan hanya mempelajari pemikiran – pemikirannya, selama di Mekkah KH. Ahmad Dahlan bertemu dengan Muhammad Khatib Minangkabau, Nawawi Al Bantani, Kiyai Mas Abdullah Surabaya, Kiyai Faqih Gresik.
Biola yang dimiliki beliau seperti yang dikisahkan dalam novel, tidak ada dalam buku biografi atau mengenai sejarah Muhammadiyah bahwa beliau pernah memiliki alat musik biola. Di novel tersebut, KH. Ahmad Dahlan mencoba bahwa keislaman masyarakat saat itu masih dibumbui dengan mitos dan takhayul, sehingga membuat tidak jelas makna Islam yang disebutnya “agama yang membawa ketenangan dan keindahan bagi siapa saja”. Ketika ditanya mengenai apa keindahan dan ketenangan, KH. Ahmad Dahlan hanya menyuruh muridnya memainkan biola dan meresapinya,.
Sempat menyinggung sedikit mengenai Utsman bin Affan yang pernah melakukan kesalahan sampai menimbulkan perang saudara. KH. Ahmad Dahlan berbicara seperti ini, “Maksudku jangankan para Ngarsa Dalem, Khalifah besar seperti Utsman bin Affan r.a. saja pernah melakukan kesalahan sampai menimbulkan perang saudara, bukan? Mas Noor tahu sejarah ini”. Itu bukan kesalahan Utsman bin Affan, tetapi para pemberontak yang melakukan makar. Saat Utsman bin Affan menjabat sebagai khalifah selama 15 tahun, ada orang munafik yang bernama Abdullah bin Saba’ yang menyuruh orang – orang Yahudi berpura – pura masuk Islam untuk menebar fitnah, kemudian adanya kaum munafik yang membuat makar terhadap Utsman bin Affan.
Utsman bin Affan merupakan tipe orang yang tsiqoh (percaya), lembut dan berlapang dada, maka dimanfaatkan oleh pemberontak yang bernama Marwan Al Hakam. Ia adalah sekretaris Utsman bin Affan ketika menjabat sebagai khalifah, yang diduga menyalahgunakan jabatannya dengan memalsukan tanda tangan Utsman untuk memecat gubernur Kuffah. Utsman bin Affan adalah salah satu dari sahabat Rasulullah saw yang dijamin surga tanpa hisab.
Mengenai penentuan arah kiblat, dalam novel tersebut diceritakan ketika masuk shalat subuh setelah satu malam melakukan musyawarah dengan 17 orang ulama, KH. Ahmad Dahlan tidak mengikuti imam shalat subuh. Iman shalat subuh ketika itu shalat subuh tidak tepat dengan arah kiblat yang benar, tiba – tiba beliau mengubah arah kiblat sendiri. Dalam ilmu fiqih shalat, tidak boleh makmum tidak mengikuti imam. Makmum harus mengikuti imam shalat sampai selesai. Kecuali, jika imam shalat batal shalatnya, bagi makmum laki – laki mengucapkan “subhanallah” dan bagi makmum perempuan dengan cara menepuk tangan sebanyak tiga kali. Apakah mungkin seorang KH. Ahmad Dahlan melakukan shalat dengan shaf yang berbeda dengan imam? Padahal, beliau berposisi sebagai makmum. Ini merupakan sikap ekstrim, padahal beliau belajar di tanah Jazirah Arab selama delapan tahun. Musyarah yang dilakukan saat itu berlangsung dengan tertib, bahkan para peserta musyarawah bersalaman dan mengucapkan terima kasih, walau tidak memperoleh kesepakatan.
Sebuah hadits dikatakan, dari Jabir berkata, “Rasulullah saw., terjatuh dari kudanya di Madinah pada batang kurma, maka telapak kakinya terkilir, lalu kami menjenguk di kamar Aisyah r.a. Kami mendatanginya sedangkan Nabi sedang shalat sambil duduk, maka kami shalat di belakang beliau dengan berdiri. Kemudian kami mendatanginya sekali lagi sedangkan beliau tengah shalat fardhu sambil duduk, maka kami shalat di belakang beliau sambil berdiri, tetapi beliau mengisyaratkan kami untuk duduk. Setelah shalat beliau bersabda, ‘Bila imam shalat dengan duduk maka shalatlah dengan duduk, dan bila shalat dengan berdiri maka shalatlah dengan berdiri. Janganlah berdiri sedangkan imam duduk, seperti yang dilakukan oleh orang – orang Persi terhadap pembesar – pembesar mereka’”.
Pada kisah penghancuran Langgar Kidul, yang merupakan peninggalan ayah beliau–karena langgar tersebut langsung mengarah pada kiblat—dihancurkan dengan cara membabi buta dengan teriakan takbir dan kafir oleh yang tidak setuju dengan perubahan arah kiblat. Dalam buku Muhammadiyyah sebagai Gerakan Islam, dikatakan bahwa Penghulu KH. Muhammad Khalil Kamaludiningrat menyampaikan secara lisan agar membongkar suraunya (Langgar Kidul). KH. Ahmad Dahlan tidak bisa melaksanakan perintah tersebut, KH. Muhammad Khalil menyuruh 10 orang kuli dengan peralatan lengklap untuk membongkar. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1898. (Kamal : 2005)
Tahun 1909 KH. Ahmad Dahlan memang sempat bergabung dengan Boedi Oetomo, namun itu tidak lama. KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo adalah untuk mengajarkan Islam kepada para anggotanya, namun pernah menolak usulan KH. Ahmad Dahlan untuk mengadakan kajian keislaman di dalam Boedi Oetomo. Banyak pertanyaan mengenai bergabungnya KH. Ahmad Dahlan ke Boedi Oetomo, karena anggota Boedi Oetmo adalah orang – orang Freemasonry yang sama sekali tidak mendukung kemerdekaan Indonesia. Mereka hanya mengutamanakan orang – orang bangsawan dan priyai, bahkan mendukung penjajahan Belanda di Indonesia. Anehnya, dalam novel tersebut pendeklarasian organisasi Muhammdiyah, diadakan di Lodge Malioboro. Lodge adalah tempat berkumpul atau tempat ritual upacara orang – orang Freemasonry.
Dalam novel tersebut KH. Ahmad Dahlan sangat dekat dengan Boedi Oetomo, bahkan mendapat dukungan untuk mendirikan organisasi yang bernama Muhammadiyah pada tahun 1912. Tidak hanya itu, pada kongres Boedi Oetomo diselenggarakan di rumah KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan tidak hanya aktif di organisasi tersebut, tetapi juga ada Jam’iyatul Khair, Syarikat Islam (SI), dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Kenapa yang ditonjolkan adalah organisasi Boedi Oetomo? Kenapa tidak menulis riwayat beliau ketika berkiprah di SI? Apakah ada kepentingan politik juga dalam novel tersebut? KH. Ahmad Dahlan memang memulai belajar berorganisasi adalah melalui organisasi Boedi Oetomo.
Tahun 1909 – 1912 KH. Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo, kemudian menarik diri dari Boedi Oetomo dan mendirikan organisasi Muhammadiyah yang berdiri pada tanggal 18 November 1912. Pendiri Boedi Oetomo pernah mengeluarkan pernyataan yang menghina Islam, tidak perlu pergi haji, karena hanya buang – buang waktu saja. Organisasi kepemudaannya pun turut menghina ajaran Islam, terutama tentang perkawinan. Boedi Oetomo sebenarnya hanya sebagai alat orang – orang Freemasonry untuk bisa masuk perpolitikan di Indonesia. Freemason adalah sebuah organisasi persaudaraan internasional, yang merupakan gerakan rahasia dari kaum Zionis dan Yahudi, berdiri pada abad ke 14 bertempat di Skotlandia. Tujuan mereka jelas, untuk menghancurkan umat Islam di seluruh dunia.
Awalnya, Freemasonry diambil dari cerita “Sefer Qabbalahh”, Abram adalah nenek moyang orang Israil yang telah mewariskan rumah Eloh di bukit Moria. Setelah rumah itu hancur karena di tinggal oleh Imam Ya’qub dan keluarganya hijrah ke Mesir, maka Raja Salomon hendak menggantikan dengan sebuah rumah baru yang bernama “Haikal Sulaiman”. Raja Salomon menyuruh orang untuk menjemput Prof.Heram dari negeri Sor, ia adalah pengecor tembaga dan ahli dalam membuat rumah batu. Untuk mendirikan bangunan tersebut, ia memanggil para tukang batu bebas (Mason). Freemason berarti himpunan para tukang batu bebas atau disebut juga Tarekat Mason Bebas. Dalam bahasa Arab disebut Masuniyyah, sedangkan dalam bahasa Perancis disebut Vrij Metselarij.
Selama di Syarikat Islam (1913), KH. Ahmad Dahlan menempati jabatan penting, yaitu menjadi Penasehat Pusat dan Komisariat Central Syarikat islam sekaligus menjadi ahli propaganda aspek dakwah bagi Syarikat Islam. Tidak hanya itu, beliau termasuk rombongan yang mewakili pengesahan Badan Hukum Syarikat Islam bersama HOS. Cokroamonoto. Tahun 1905 beliau juga bergabung dengan Jam’iyatul Khair dari kalangan pribumi bersama Husein Jayadiningrat.
Setelah mendirikan Muhammadiyah, pada tanggal 20 Desember 1912 KH. Ahmad Dahlan mengajukkan permohonan kepada Hindia Belanda agar organiasasi Muhammdiyah berbadan hukum, namun baru dipenuhi oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1914. Izin tersebut hanya berlaku dan bergerak untuk di daerah Yogyakarta, ada kekhawatiran dari pemerintah Belanda dengan adanya organisasi Muhammadiyah, sehingga kegiatan – kegiatannya dibatasi. Ruang gerak dibatasi tidak menghalagi pergerakan Muhammadiyah, bahkan bertambah menyebar ke Srandakan, Wonogiri dan Imogiri. Ini sangat bertentangan dengan pemerintah Hindia Belada, KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menggunakan nama lain untuk cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta. Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir di Ujung Pandang, Ahmadiyah di Garut, Sidiq Amanah Tabligh Fatanah (SATF) di Solo yang mendapat pimpinan Muhammdiyah. Pada tanggal 1917, KH. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi kewanitaan Muhammadiyah yang bernama Aisyiyah.
Pada tanggal 7 Mei 1921, mengajukkan permohonan kembali kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia, karena pada saat itu Muhammadiyah sudah berkembang. Permohonan tersebut baru dikabulkan pada tanggal 2 September 1921. KH. Ahmad Dahlan adalah orang yang demokratis, dalam pelaksaan gerak dakwah Muhammadiyah beliau memfasilitasi para anggotanya untuk mengevaluasi dan pemilihan pimpinan Muhammadiyah. Selama hidupnya, dalam gerakan dakwah Muhammadiyah, telah mengadakan dua belas kali pertemuan dalam setahun. Saat itu dipakai istilah Algeemene Vergadering (Persidangan Umum).
Semenjak ayahnya wafat, KH. Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya sebagai ketib Masjid Agung, Kauman, Yogyakarta. Oleh teman seprofesinya dan para kiyai, KH. Ahmad Dahlan diberi gelar ketib amin (khatib yang dipercaya). Kesibukannya sebagai wirausaha batik yang sukses, KH. Ahmad Dahlan tetap menambah tsaqofah (wawasan) atau ilmu dengan mendatangi ulama – ulama untuk memperbaiki umat tempat beliau tinggal, sampai beliau meninggal pada tanggal 25 Februari 1923.
Novel Sang Pencerah menampilkan riwayat tokoh KH. Ahmad Dahlan, tetapi dalam novel tersebut tidak disajikan secara lengkap, dari kelahiran sampai wafatnya KH. Ahmad Dahlan, bisa dikatakan juga sepotong – sepotong. Sangat disayangkan. Tidak semua orang tahu mengenai sosok KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah melalui organisasi yang didirikan beliau sendiri yang bernama Muhammadiyah. Sebagai akademisi, diperlukan pemikiran kritis dalam memahami sejarah Islam di Indonesia. Tidak hanya dipahami, tapi juga dipelajari.
Melalui film dan novel Sang Pencerah ini mudah – mudahan bisa menambah wawasan masyarakat tentang sosok KH. Ahmad Dahlan dan pergerakan dakwah beliau. Akan lebih baik jika menyajikannya dengan meluruskan sejarah di Indonesia, karena sejarah Islam di Indonesia sudah banyak yang didistorsi. Jadikan sejarah Islam di Indonesia ini benar – benar objektif, bukan subjektif. Tidak hanya dalam novel, tetapi juga dalam film Sang Pencerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar