Kamis, 29 Maret 2012

Peran dan Posisi Ikatan Pelajar Muhammadiyah Dalam Mempertahankan Ideologi Umat dari Ancaman Liberalisme dan Pluralisme

Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) merupakan sebuah gerakan dakwah ilmiah yang telah hadir di Indonesia selama setengah abad. Kelahiran IPM yang jatuh pada tanggal 18 Juli 1961 tentu tidak lahir di atas ruang yang hampa. Dia lahir di atas kesadaran kolektif di kalangan internal Muhammadiyah, bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada pada saat itu sudah berkembang perlu dibentengi ideologi aqidah keislaman yang kuat agar tidak goyang oleh ideologi komunis yang berkembang pada saat itu , namun sekarang tantangan awal saat IPM didirikan sudah tiada, karena menurut  Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana termaktub dalam ketetapan nomor XXV/MPRS/1960, ideologi komunis berikut segala organisasi serta kegiatan yang mengembangkan paham komunisme telah diharamkan di tanah air Indonesia.

Sebagai organisasi yang mengedepankan cara berfikir yang aktif dan transformatif, IPM dituntut untuk selalu bergerak aktif memenuhi segala mobilitas pemikiran yang berkembang saat ini. Pada kenyataannya sekarang ideologi Islam tidak lagi hanya terancam oleh kristenisasi dan komunisme. Pada zaman yang telah maju ini muncul sebuah tantangan baru yang ironisnya muncul dan berkembang di kalangan umat Islam sendiri, yaitu sekularisme, pluralisme dan liberalisme, atau yang biasa disingkat dengan “sepilis”. Sekarang bagaimanakah Ikatan Pelajar Muhammadiyah seharusnya bersikap dalam menanggapi bahaya sepilis yang terus berkembang ini?

Latar belakang berdirinya IPM tidak terlepas dari latar belakang berdirnya Muhammadiyah sebagai “Gerakan Dakwah Islam Amar Ma’ruf Nahi Munkar” dan sebagai kensekuensi dari banyaknya sekolah yang merupakan amal usaha Muhammadiyah untuk membina dan mendidik kader.

Di samping itu situasi dan kondisi politik di Indonesia pada era rahun 1956-an, dimana pada masa ini merupakan masa kejayaan Partai Komunis Indonesia dan masa Orde lama. Muhammadiyah menghadapi tantangan yang sangat berat dari berbagai pihak. Sehingga karena itulah dirasakan perlu adanya dukungan terutama untuk menegakkan dan menjalankan misi Muhammadiyah. Oleh karena itu kehadiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah sebagai organisasi para pelajar yang terpanggil pada misi Muhammadiyah dan ingin tampil sebagai pelopor, pelangsung dam penyempurna perjuangan Muhammadiyah.

Upaya dan keinginan pelajar Muhammadiyah untuk mendirikan organisasi pelajar Muhammadiyah telah dirintis sejak tahun 1919. Akan tetapi selalu saja mendapat halangan dan rintangan dari berbagai pihak, termasuk oleh Muhammadiyah sendiri. Aktivitas pelajar Muhammadiyah untuk membentuk kader organisasi Muhammadiyah di kalangan pelajar akhirnya mendapat titik–titik terang dan mulai menunjukkan keberhasilannya, yaitu ketika pada tahun 1958, Konferensi Pemuda Muhammdiyah di Garut menempatkan organisasi pelajar Muhammmadiyah di bawah pengawasan Pemuda Muhammadiyah.

Keputusan Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Garut tersebut diperkuat pada Muktamar Pemuda Muhammadiyah II yang berlangsung pada tanggal 24-28 Juli 1960 di Yogyakarta yakni dengan memutuskan untuk membentuk IPM (Keputusan II/ no.4). Rencana pendirian IPM tersebut dimatangkan lagi di dalam Konferensi Pemuda Muhammadiyah di Surakarta tanggal 18-20 Juli 1961 dan secara nasional melalui forum tersebut IPM dapat berdiri. Ditetapkan pula pada tangggal 5 Shafar 1381 bertepatan tanggal 18 Juli 1961 M sebagai hari kelahiran Ikatan Pelajar Muhammadiyah.

Dari sejarah pendiriannya inilah dapat dilihat dengan jelas, bahwa pada hakikatnya IPM tidak berdiri begitu saja semudah telapak tangan. Pendiriannya memerlukan kerja keras dan kegigihan yang menyertai tujuan mulia pencetusnya, yaitu untuk menjadi pelopor, pelangsung dan penyempurna amanah umat untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Tentunya masyarakat Islam yang ingin diwujudkan harus bebas dari ideologi-ideologi yang dapat meruntuhkan kesatuan umat Islam, salah satunya adalah liberalisme dan pluralisme agama.

Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan as-sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata . Dalam praktek pelaksanaannya, orang liberal tidak sepenuhnya beramal sesuai dengan dasar al-Qur’an. Hanya dalil yang dapat diterima akal saja yang diterima. Sedangkan ajaran yang tidak rasional dan tidak sesuai dengan alur pemikiran mereka akan tertolak. Padahal kekuasaan Allah ta’ala sangatlah besar. Dan akal manusia tidak akan sanggup mengejar ilmu dari Allah ta’ala.

Sedangkan pluralisme adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar di dunia merupakan konsepsi dan persepsi yang berbeda tentang, dan respon yang bervariasi terhadap realitas ketuhanan, yang sama, yang ultimate dan misterius.

Seorang pluralis sejati beranggapan bahwa yang Satu (Tuhan) bisa dipahami dan diyakini dalam berbagai bentuk dan tafsiran. Multi tafsiran dan pemahaman mengenai Yang Satu hanyalah alat atau jalan menuju ke hakikat absolut. bahwa pada orang lain juga terdapat komitmen mutlak pada pengalaman partikular keagamaannya seperti yang kita yakini. Pengalaman partikular keagamaan seseorang bersifat relatively absolute, sehingga ia harus mengakui  semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak,  konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak hanya satu .

Perhatikan keputusan Munas Majelis Tarjih di Jakarta tahun 2000 yang berbunyi sebagai berikut : ”sehubungan dengan munculnya pemahaman bahwa orang Islam yang mengklaim agama Islam sebagai yang paling benar adalah salah, berdasarkan al-Qur’an perlu ditegaskan kembali kepada warga Muhammadiyah bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridloi Allah.” Lihat pula Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dan Kitab Himpunan Putusan Tarjih pada Masalah Lima  yang berkaitan dengan pengertian Islam. Dinyatakan “Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah apa yang diturunkan Allah di dalam al-Qur’an dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih………” Maka sebagai organisasi yang berfungsi sebagai lembaga kader persyarikatan baik sebagai pimpinan maupun pemegang amal usaha di masa yang akan datang, IPM harus memiliki karakter dan sikap yang kuat dalam menghadapi permasalahan liberalisme dan sekularisme.

Menurut Zaini Munir dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, pemberantasan liberalisme dan pluralisme tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan pendekatan personal yang khusus untuk dapat mengembalikan seorang pluralis  ke jalan yang lurus“. Pencegahan yang paling efektif adalah dengan membentengi aqidah umat ini dengan ideologi yang kuat agar dapat terhindar dari bahaya pluralisme dan sekularisme ini ,” tambah pengampu mata pelajaran aqidah Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta ini.

Disinilah seharusnya IPM mengambil peran strategis. Para pelajar yang umumnya sedang dalam masa pencarian jati diri sangat mudah terkontaminasi ideologi-ideologi asing tanpa ada pemilahan antara yang baik dan yang benar terlebih dahulu. IPM sebagai organisasi yang memiliki basis masa pelajar sudah sewajarnya memiliki tanggungjawab besar terhadap konsistensi keyakinan para pelajar.

IPM, khususnya pimpinan ranting yang merupakan perpanjangan tangan tangan pimpinan di atasnya yang bekerja langsung kepada anggota sudah seharusnya memulai gerakan-gerakan untuk menumbuhkan kesadaran internal dalam diri para siswa untuk bersiap akan bahaya pluralisme dan liberalisme yang dapat mengancam eksistensi keislaman mereka. Langkah kongkrit bisa dimulai dari internal pimpinan sendiri. Kemudian nantinya para kader pimpinan inilah yang akan meneruskan amanah umat utnuk menumbuhkan kesadaran para pelajar untuk selalu waspada bahaya liberalisme dan pluralisme serta turut berperan aktif dalam pencegahannya.

Pada masa yang lalu ter bukti IPM telah sukses melewati berbagai ideologi yang muncul dalam perkembangan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, mulai dari Ideologi komunisme hingga nasionalisme berlebihan yang ditonjolkan saat masa pemerintahan Presiden Soeharto. Keadaan yang demikian menyebabkan terjadinya polarisasi kekuatan tidak hanya persaingan kekuasaan di dalam lembaga pemerintahan, bahkan juga dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam situasi seperti ini IPM lahir dan berproses membentuk dirinya. Maka sudah menjadi kewajaran bila pada saat keberaadaannya IPM banyak berfokus pada upaya untuk mengkonsolidasi dan menggalang kesatuan pelajar Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia ke dalam wadah IPM.

Upaya untuk menemukan karakter dan jati diri IPM sebagai gerakan kader dan dakwah IPM harus lebih tegas dengan konsep pengkaderan IPM yang telah lam dirumuskan. IPM yaitu paradigma kritis yang menekankan penanaman ideologi yang berbasis kepada ilmu. Perkembangan paradigma kritis tersebut  diharapkan dapat bermuara kepada lahirnya trilogi pembaharuan IPM, yaitu etos kerja, etos intelektual dan etos spiritual .

Memasuki era kedua Muhammadiyah yang telah memasuki usia satu abad ini, IPM harus menunjukkan eksistensinya agar tidak tenggelam dalam perkembangan zaman. Dengan harapan besar itulah IPM dituntut untuk dapat terus eksis di usianya yang memasuki setengah abad agar dapat mengikuti ayahnya, Muhammadiyah yang telah sukses memasuki usia satu abad.(hw)

by: KDI PD IPM Sleman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar