Sabtu, 05 Mei 2012

ILMU DAN PENDIDIKAN DALAM PANDANGAN KIAI AHMAD DAHLAN*

Oleh: Abdul Munir Mulkhan

Pengantar
Banyak orang menyebut Kiai Ahmad Dahlan adalah pedagang, tapi yang pasti Kiai adalah abdi dalem. Saat Kiai melawat ke daerah-daerah sekitar Jogja membawa dagangan untuk membantu biaya transportasi dan akomodasi. Sekali waktu seorang sahabatnya menghibahkan 500 gulden dengan maksud sebagai modal dagang, uang itu habis untuk membiayai gerakan. Cara ini tentu bukan model seorang padagang, sama halnya seorang abdi dalem yang tidak bebas bepergian keluar kraton untuk berdagang.

Gagasan Islam bagaimana dan apa yang mendasari gerakannya dan tujuan apa yang hendak dicapai ketika Kiai begitu setia bekerja untuk gerakanya? Tidak satupun dokumen tertulis yang diwariskan Pembaharu dari Jogja, Kiai Ahmad Dalan, yang bisa dijadikan bahan membaca gagasan dasar dan latar belakang pemikiran dan gerakannya. Gerakan Muhammadiyah yang didirikan priyayi Jawa abdi dalem kraton Jogja itu kemudian telah tumbuh sebagai gerakan Islam modern terbesar di dunia, walaupun selalu menjadi bahan perdebatan mengenai konsep yang digagas pendirinya.

Sekurangnya terdapat dua dokumen paling kuat sebagai penanda jejak pemikiran Kiai Ahmad Dahlan. (1). Praeadvis HB Muhammadiyah dalam Kongres Islam pertama di Cirebon tahun 1921. (2). Naskah berjudul “Kesatuan Hidup Manusia” diduga sebagai transkrip pidato Kiai Dahlan dalam Kongres HB Muhammadiyah bulan Desember 1922. Dari dua dokumen ini bisa dibaca jejak pemikiran Kiai Ahmad Dahlan dalam kaitannya dengan berbagai bentuk amal usaha yang dikembangkan semasa kepemiminannya.

Selain itu, jejak pemikiran Kiai Ahmad Dahlan bisa dibaca dari komentar murid-muridnya dan mereka yang hidup sezaman, serta bentuk gerakan yang lahir pada masa ia memimpin Muhammadiyah. Salah satu yang terpenting ialah model kaderisasi yang dikenal dengan nama Fathul Asror Miftahus Sa’adah (FM) yang menempatkan penyadaran (konsientiasi) dan hadap masalah (problematisasi) sebagai basis etika gerakan. Demikian pula dengan legenda Al-Ma’un yang menempatkan aksi kongkrit sebagai tafsir autentik Kitab Suci.

Dari beberapa dokumen dan sumber tersebut kita coba mengurai karakter pemikiran Islam Kiai Ahmad Dahlan. Berbagai analisis penelitian menyimpulkan beberapa ciri utama pemikiran Kiai Dahlan dan gerakan yang dikembangkannya antara lain rasional dan pragmatis  dengan memanfaatkan iptek dan pengalaman bangsa-bangsa berkemajuan.


Paling penting ialah etika berilmu yang Kiai sebut sebagai dua kewajiban Muslim yaitu: belajar dan mengajar , kemudian menjadi etos gerakan sebagai pangkal kekuatan gerakan ini di sepanjang sejarah. Boleh jadi Paulo Freire membaca gerakan Kiai Dahlan ketika mengagas model gerakan dengan penyadaran (konsientiasi) dan hadap masalah (problematisasi) serta model pendidikannya. Kebetulan Freire lahir bersamaan dengan Kiai Dahlan resmi mengajukan ijin ke Gubernur Jendral Hindia Belanda tahun 1912.

Pokok-Pokok Gagasan
Kesempurnaan budi ialah mengerti baik-buruk, benar-salah, kebahagiaan atau penderitaan, dan bertindak berdasar pengertian itu. Kondisi ini bisa dicapai jika akalnya seseorang itu tumbuh sempurna, yakni akal kritis dan kreatif-bebas yang diperoleh dari belajar. Inti ilmu ini adalah inti ajaran Islam dengan satu asas kebenaran yang memandang semua manusia berkedudukan sama.

Setiap orang wajib menyebarkan ilmu sekaligus Islam ke semua orang di semua tempat, menjadi guru sekaligus murid, belajar dan mengajar untuk kebaikan hidup seluruh umat manusia. Sekolah, madrasah, dan pesantren adalah instrumen dan media bagi kebaikan hidup, penyempurnaan budi dan akal yang terus diubah dan disempurnakan sesuai zaman dan perkembangan ilmu.

Manusia adalah pelaku otonom, bebas dari dilema ihtiar-takdir Sunnisme, yang terus menyempurnakan budi dan akal bagi kesempurnaan hidup sosialnya. Dasar filosofi dan metodologi transformasi-profetik pendidikan dalam gagasan Kiai ini nampak kurang dipahami, sehingga pendidikan Muhammadiyah terus menghadapi pilihan dilematis ilmu agama dan umum yang dipandang sekuler.

Muhammadiyah dikenal luas karena “keberhasilan” mengelola pendidikan yang dimulai sejak gerakan ini didirikan Kiai Ahmad Dahlan tahun 1912. Banyak pendidikan Muhammadiyah merupakan unggulan di mata masyarakat. Walaupun demikian, konsep dasar pendidikan belum bisa dikatakan telah dikembangkan organisasi ini. Kegiatan pendidikan Muhammadiyah lebih sebagai “peniruan” model pendidikan Kiai Ahmad Dahlan dan model pendidikan nasional.

Dari sini pendidikan Muhammadiyah, seperti pendidikan Islam umumnya, terus menghadapi problem ketidakcocokan tujuan dan kurikulum dan sistematisasi hubungan bidang ajar umum dan agama. Tauhid terus mengajarkan peran Tuhan dalam peristiwa alam dan kemanusiaan, bidang lain mengajarkan teori evolusi mekanisme internal kejadian alam dan kemanusiaan. Akibatnya, generasi yang akrab dengan khasanah Islam klasik (Kitab Kuning) dan iptek modern semakin langka.  “Pendidikan Al Islam dan Kemuhammadiyahan” bukanlah pemecahan cerdas, bahkan makin memperrumit problem pendidikan ini.

Karena itu, studi tentang gagasan yang mendasari proyek sekolah Kiai Ahmad Dahlan merupakan kajian menarik. Proyek kiai ini menyimpan sejumlah gagasan manusia-guru dan manusia-murid, kebenaran dan cara memperoleh, serta pengembangan daya nalar. Namun gagasan itu perlu dikembangkan ke dalam konsep filosofis, teoretis, metodologis yang berfungsi secara pragmatis bagi kebaikan hidup umat dan bangsa.

Hasil kajian seperti ini akan bermakna bagi pendidikan Muhammadiyah, terutama pendidikan tinggi yang menjadikan ilmu pendidikan sebagai konsentrasi. Usaha demikian merupakan sumbangan berarti bagi reformasi pendidikan nasional yang kini sedang dilakukan. Hal ini sekaligus membebaskan pendidikan Muhammadiyah yang cenderung “terpaksa” menjadi “peniru” model pendidikan nasional dan model sekolah Kiai.

Beberapa tahun sebelum Muhammadiyah resmi berdiri, Kiai Dahlan sudah menyelenggarakan model sekolah yang kemudian dikenal sebagai proyek modernisasi pendidikan Islam. Bentuk kelembagaan pendidikan yang dikembangkan Muhammadiyah itu hingga saat ini memang nampak pararel dengan yang dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan. Namun gagasan dasar dari praktek pendidikan Muhammadiyah, selain belum jelas, nampak berbeda dari gagasan dasar Kiai Ahmad Dahlan ketika melakukan modernisasi pendidikan bagi umat waktu itu.

Islam dalam Pandangan Kiai Ahmad Dahlan
Dalam pandangan Kiai Ahmad Dahlan: “Jalan yang betul itu yakni Agama Islam sejati. Inilah Agama Islam sejati dengan pendek: Agama itu ada dua bahagiannya, yakni yang lahir dan batin. … Jadi orang Islam yang sudah mulai bangun itu harus dipimpin kepada Islam yang sejati, yakni lahir dan batin.” Dari sini dikembangkan prinsip pengajaran dengan memihak yang menderita, meletakkan persatuan pada keputusan bersama yang paling kecil pertentangan dengan menghidupkan akal-pikiran.

Pandangan Islam-nya Kiai Ahmad Dahlan bisa pula dikaji dari rumusan tujuan Muhammadiyah semasa kepemimpinannya, seperti berikut:

(1) "Menyebarkan pengajaran agama Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi putera di dalam Residensi Yogyakarta", (2) "memajukan hal gama kepada anggota-anggotanya". Kegiatannya meliputi: (1) "Memperdirikan dan memiara atau menolong dalam pegajaran, yang selainnya pengajaran biasa di sekolahan, juga dipelajari pengajaran igama Islam seperlunya", (2) "mengadakan perkumpulan anggota-anggota dan lain anggota yang suka datang, yaitu membicarakan perkara-perkara igama Islam", (3) “memperdirikan dan memiara atau menolong langgar-langgar (wakaf dan masjid), yang mana terpakai melakukan hal igama atau menetapi keperluannya igama Islam seperlunya”, dan (4) “mengeluarkan sendiri atau memberi pertolongan kepada mengeluarkan buku-buku, surat sebaran, surat sebitan atau surat-surat kabar, yang di dalamnya termuat perkara-perkara igama Islam, hal kebaikannya kelakuan pengajaran dan kepercayaan yang baik, yang masing-masing tujuannya bisa mendapatkan maksudnya per-himpunan itu, tetapi sekali-kali tidak boleh nerjang wetwetnya Negeri atau melanggar peraturan-peraturan umum atau hal kelakuan yang baik."

Dari rumusan tujuan di atas, nampak jelas gagasan pendidikan dalam arti luas. Wilayah pendidikan seluas wilayah kehidupan dengan media yang bukan sekedar buku ajar dan lingkungan. Media pendidikan kemudian meliputi seluruh media informasi baik cetak maupun elektronika yang belakangan berkembang searah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Kiai Ahmad Dahlan memandang ketaatan syariah adalah hasil dari ketaatan batiniah.  Farid Ma’ruf menyatakan keagamaan Kiai Ahmad Dahlan seperti sufi-nya Imam Al Ghazali.  Pemurnian Islam, jika istilah ini tepat dipakai bagi Kiai Ahmad Dahlan, nampak diletakkan pada penyadaran peran umat dalam kehidupan sosial yang harus mandiri, bebas dan mengubah nasibnya dalam sejarah. Hal ini berbeda dari ideologisasi anti tahyul, bid’ah dan khurafat (TBC).

Dalam Kongres Muhammadiyah 1922, Kiai Ahmad Dahlan menyatakan:  "Untuk mem¬impin kehidupan se¬harusnya mempergu¬nakan satu metode kepemimpinan yaitu Al Qur¬an. ... seluruh manusia harus bersatu-hati mufakat yang disebabkan karena segala pembica¬raan memakai hu¬kum yang sah dan hati yang suci ... untuk mencapai maksud dan tu¬juan harus dengan memper¬guna¬kan akal yang sehat. ... tidak ada guna¬nya pangkat yang tinggi kecuali dengan hati yang suci." 

Dari prasaran dalam Konggres Islam ke-1 tahun 1921 di Cirebon Kiai Ahmad Dahlan menyatakan pula: "Jalan yang betul itu ialah agama Islam sejati. ... ada dua baha-giannya, yakni lahir dan batin.… Persatuan Islam itulah yang harus kita tuju, su¬paya orang Islam dapat hidup se¬cara Islam, menurut rancangan yang hukum-hukumnya sudah sempu-rna terpaku dalam Al Quran Suci. ... bahwa hidup orang Islam itu harus bera¬sas¬kan Quran… Beribadah kepada Allah, tiada dengan perantar¬aan antara manusia de¬ngan Allah. ... Mengakui haknya akal dan ilmu. Tiap-tiap pengajaran agama itu harus di¬buk¬ti-kan dengan menjalankan akal." 

Penekanan kesalehan batin Kiai Ahmad Dahlan itu berbeda dari sakralisasi organisasi dan pelembagaan kesalehan yang lebih menekankan kesalehan syariah. Program spiritualisasi syariah, lebih sesuai peran hati-suci sebagai fondasi kesalehan spiritual dan relativisme pluralistik Kiai Ahmad Dahlan sebagai dasar sikap terbuka, kritis dan kreatif dalam mencari kebenaran.

Pandangan itulah yang kemudian dikenal dalam gagasan Islam inklusif, seperti penolakan Kiai Ahmad Dahlan terhadap fanatisme keagamaan sebagai dasar pencarian kebenaran. Baginya, tradisi TBC adalah karena kebodohan, yang kuncinya ialah pendidikan bagi penyempurnaan akal kritis dan bebas-kreatif.  Hal ini berbeda dengan fundemantalisme yang meletakkan situasi sosial-politik sebagai ancaman dalam pemikiran Muhammadiyah di kemudian hari. Program spiritualisasi syariah  nampak berbeda dari sikap eksklusif tersebut.

Pokok pandangan Kiai Ahmad Dahlan bisa dilihat dari kutipan ringkas berikut. “Sebagian besar pemimpin belum menaruh perhatian pada kebaikan dan kesejahteraan manusia, akan tetapi baru memperhatikan kaum dan golongannya sendiri bahkan badannya sendiri.” Bagi Kiai, kebenaran dan kesalehan ialah kesediaan memperjuangkan kesejahteraan seluruh manusia, tidak terbatas golongannya sendiri. Kiai lalu menyatakan bahwa mereka ialah: “… orang-orang yang benar-benar menemukan hal-hal yang baik bagi sebagian besar orang serta mereka yang berfikir secara dalam dan luas... dalam menentukan baik-buruk, betul-salah hanyalah hukum yang sah dan sesuai dengan hati yang suci.”

Selain hati suci, ia juga menyebut fungsi “akal pikiran yang suci”, yang menurut pendapatnya ialah pembuatan keputusan yang bukan merupakan keputusan yang dibuat sendiri. Dalam hubungan itu ia berpendapat, suatu pengetahuan hanya akan bermanfaat jika direalisasi sesuai keadaan dan bahaya besar akan dihadapi … jika setiap persoalan tidak dipecahkan dengan “hati yang suci” atau “pikiran yang suci.”

Penelitian disertasi Ahmad Jainuri  menemukan relativitas dan pluralitas Islam-nya Kiai Ahmad Dahlan yang meletakkan hati-suci jauh lebih penting dari lembaga formal. Organisasi bagi Kiai Ahmad Dahlan adalah instrumen pengembangan kesalehan hati-suci itu. Pandangan itu bisa dikaji dari berbagai dokumen; (1) transkrip pidato rapat tahunan 1922,  (2) prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam Cirebon 1921, dan (3) catatan pandangan Kiai Ahmad Dahlan oleh para muridnya. 

Berbeda dari tarjih, kebenaran Islam bagi Kiai Ahmad Dahlan ialah yang sesuai “kesucian hati dan pikiran”. Kiai menyatakan bahwa amal lahir (syariah) adalah akibat daya ruh agama yang didasari “hati dan pikiran suci” itu.  Kiai juga menyatakan bahwa setiap pekerjaan harus dipertanggungjawabkan langsung pada Tuhan tentang penempatan hidup duniawi sebagai proyek keselamatan sesudah kematian.

"Kita manusia ini, hidup didunia hanja sekali buat bertaruh. Sesudah mati, akan mendapat kebahagaiankah atau kesengsaraan? ... Tentu saja orang Mukmin jang takut akan bahaja maut, takut akan diusut perbuatannja, takut akan diputus, pasti harus selalu bingung mentjari, usaha bagaimana tjaranja mendapat keselamatan, harus kemana2 bertanja, bagaimana supaja dapat selamat. Tidak tjukup hanja anggap2an, diputusi sendiri. …Manusia satu sama lain selalu melemparkan pisau pentjukur, mempunjai anggapan pasti tepat dia melemparkan tjelaka kepada orang lain." 

Dalam Sidang Tahunan 1922, Kiai Ahmad Dahlan menyatakan, kabahagiaan dunia-akhirat harus dicapai dengan pengetahuan yang benar dari hasil penelitian. Kecerdasan ialah kemampuan mengatasi penderitaan disertai selalu ingat kepada Tuhan. Dalam Konggres Islam Cirebon, Kiai Ahmad Dahlan menyatakan, karena persamaan kedudukan, tidak perlu perantara dalam ibadah.

Karena itu, menurut pandangan Kiai, manusia harus bekerjasama dengan semua pihak, walaupun berbeda agama. Perubahan kehidupan manusia dan alam, bersifat kausal seperti temuan penelitian. Pandangan ini berbeda dengan ketergantungan kehendak mutlak pada Tuhan sebagaimana rumusan tarjih seperti pandangan kaum Sunni.

Bagi Kiai Ahmad Dahlan, kesalehan ialah pencarian kebenaran tanpa final, terbuka berdialog dengan semua pihak yang berbeda. Suatu pengambilan kesimpulan (keputusan) adalah benar jika: (a) paling kecil pertentangannya, (b) dilakukan dengan mendengar, membanding dan menimbang segala pendapat, (c) sesuai akal dan hati suci. Kiai selanjutnya menyatakan bahwa keikhlasan adalah dasar hidup sosial, dan mencapai tujuan berdasar teori dan ketrampilan. Karena itu, bagi Kiai apa yang dimaksud kebahagiaan itu ialah sikap ikhlas, tidak lupa kematian, dan menempatkan ilmu sebagai kunci kemajuan dan kebahagiaan bersama.

Seperti telah dikemukakan, apresiasi sufi Kiai Ahmad Dahlan bisa dikaji dari cata-tan muridnya. Kiai Ahmad Dahlan menyatakan: "Agama bukan barang jang kasar, jang harus dimasukkan kedalam telinga, akan tetapi agama Islam adalah agama fitrah. Artinja, adjaran jang mentjotjo¬ki kesutjian manusia. Sesungguhnja agama bukanlah amal lahir jang dapat dilihat, amal lahirnja hanjalah bekas dan daja dari ruh agama."

Terlihat jelas bagaimana Kiai Ahmad Dahlan meletakkan pentingnya kesatuan akal dan hati-suci sebagai inti kesalehan syariah. Menurutnya, hati-suci bukan hanya pangkal memahami Islam, tetapi hati-suci adalah akar ibadah, dasar hidup sosial dan keagamaan. Hati-suci ini pula yang bagi Kiai akan membebaskan seseorang dari kebodohan dan karena itu juga bebas dari ikatan tradisi. Proyek besar Kiai bukan memberantas TBC, tapi pengembangan kemandirian dengan memberantas kebodohan.

Ide Kebenaran dan Kebaikan
Dari dua dokumen penting yang dibuat semasa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan,  dapat dikemukakan beberapa gagasan besar pendiri Muhammadiyah ini. Dua dokumen itu ialah: (1) Kesatuan Hidup Manusia yang dipublikasikan pertama kali tahun 1923, dan (2) Prasaran Muhammadiyah dalam Kongres Islam I Cirebon tahun 1921. Gagasan ini berkaitan dengan pandangan tentang kebenaran ilmu dan kebaikan, serta gagasan tentang manusia, sekolah dan satuan sosial sebagai akar kehidupan kemanusiaan.

Dari gagasan demikian, berbagai praktek pendidikan Muhammadiyah bisa dikritik-ulang bagi usaha membangun konsep pendidikan yang selama ini dilakukan Muhammadiyah yang baru. Gagasan Kiai Ahmad Dahlan bisa dijadikan bahan dasar perumussan filsafat manusia, alam dan pendidikan. Dalam garis besar gagasan Kiai tersebut di atas akan dikemukakan dalam uraian berikut.

Kebenaran itu hanyalah satu, sesuai dengan hati dan akal-pikiran yang suci dan berfungsi bagi kebahagiaan dan kegembiraan sebagian besar manusia. Kebenaran demikian bisa ditemukan jika seseorang bersikap terbuka dan berpikir secara luas dan mendalam. Kebahagiaan manusia di dunia bisa diperoleh jika seluruh manusia bersatu atas dasar kebenaran yang satu ini.

Akal-pikiran suci adalah akal yang sehat dan kesehatan akal bisa dicapai jika terus menerus diberi pengetahuan melalui pendidikan akal dengan ilmu logika. Mustahil seseorang memperoleh ilmu kecuali melalui pendidikan atau pengajaran yang dijalankan oleh guru. Karena itu, pendidikan (pengajaran) harus dijalankan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan akalnya tersebut yaitu yang mendidik akal tentang kesesuaian pikiran dengan kenyataan.

Kehebatan dan kebaikan seseorang ialah jika ia terbuka menerima ilmu dari orang lain, kemudian menyebarkan ilmu yang diperolehnya itu kepada orang lain. Orang yang baik (budiman) ialah orang bisa menahan nafsu untuk kesenangannya sendiri yang hanya bisa dilakukan jika ia memiliki ilmu. Orang yang berbuat berdasar pengertian itu jauh lebih baik daripada orang yang mengerti, dan orang yang mengerti itu lebih baik daripada yang bodoh.

Pengetahuan yang benar ialah pengetahuan berguna (pragmatis), bisa dikerjakan dan sesuai fakta (keadaan) atau kontekstual. Sementara kegunaan pengetahuan adalah jika bisa memperbaiki tindakan manusia yang buruk dan yang salah. Kemampuan memilih yang salah dan benar, baik dan buruk, dan kemampuan memecahkan masalah harus didasari fakta yang benar dengan belas-kasih sebagai dasar pencapaian keutamaan.

Pendidikan harus percaya bahwa pencapaian keutamaan hidup itu memerlukan daya kreatif dengan kekuatan akal-pikiran dan kesediaan berkorban. Sementara kesempurnaan akal-pikiran akan diperoleh seseorang jika bisa membedakan dan membandingkan kebenaran dan kesalahan, kebaikan dari keburukan dan yang tidak merusak hati-suci dan mendatangkan kesusahan dan penderitaan. Seluruhnya terletak di dalam pengertian seseorang pada dirinya sendiri. Karena itu, pendidikan (pengajaran) yang berguna bagi akal-pikiran jauh lebih penting dibanding memenuhi kebutuhan makan.

Pendidikan dan Sekolah
Semua manusia harus belajar dan menjadi guru dalam madrasah, sekolah, pesantren atau pondok, atau di lapangan, pasar, penjara dan di jalan-jalan. Mereka yang ilmunya tinggi (ulama) atau sedikit wajib menyebarluaskan ilmu yang dimiliki. Penyebarluasan ilmu dilakukan dengan doktrin pendidikan: “jadilah guru sekaligus jadilah murid”. Sebagian guru disebut dengan “guru keliling” yang kemudian berubah dikenal sebagai muballigh” dan lainnya adalah “guru sekolah”.

Pendidikan (pengajaran) agama harus didasari pengakuan atas hak dan kebenaran akal dan ilmu, mengakui keinginan dan nafsu manusia, dan dibuktikan dengan jalan ilmu dan akal-pikiran. Karena itu pendidikan harus ditujukan untuk menghidupkan akal-pikiran dan dikembangkan bagi kecintaan terhadap sesama manusia dan pembebasan manusia dari penderitaan.

Pendidikan harus bisa memperbaiki taraf hidup, kebebasan berkreasi, kebaikan moral dan bertanggung jawab atas kebaikan hidup dirinya, masyarakat, dan dunia kemanusiaan, serta keyakinan tauhid. Dan, pendidikan agama harus bisa menyatukan kebudayaan dan agama, selain kesatuan seluruh manusia, termasuk dengan yang berbeda agama bagi kepentingan perbaikan hidup. Kebersamaan manusia ini bisa dicapai melalui keputusan yang paling sedikit pertentangannya.

Kehidupan manusia itu selalu berubah sesuai hukum kausal (sebab-akibat), dan ilmu pengetahuan terus berkembang ke arah kemajuan. Di sini, penelitian tentang perkembangan alam dan rahasia di dalamnya penting dan harus terus dilakukan. Salah satu fungsinya ialah bagi kemajuan ilmu dan bagi kebahagiaan hidup manusia secara keseluruhan.

Di setiap tempat, harus ada sekelompok orang (40 orang) yang secara bersama menyelenggarakan tabligh (pendidikan agama di luar sekolah formal bagi siswa atau masyarakat umum), madrasah, sekolah agama, dan sekolah umum (waktu itu sebagai sebagai “sekolah biasa”). Satu orang di antara mereka bertindak sebagai guru dan lainnya mengusahakan tempat dan dana bagi penyelenggaraan pendidikan.

Seluruh kelompok dipersatukan oleh suatu badan yang mengatur dan mengawasi satuan (asas) bagi leerplan (kurikulum) yang dilaksanakan sesuai kondisi setempat. Asas ini meliputi bidang: baca-tulis latin, jawa dan arab, agama dan ilmu biasa (umum) yang diajarkan di sekolah Belanda. Dan asas kurikulum ini dibagi dalam satuan tahun pengajaran dan kelas sesuai tingkatan sekolah; rendah, menengah, dan tinggi, seperti halnya juga bagi “sekolah desa”.

Karena itu, ada baiknya dikaji ulang nalar Muhammadiyah dari apa yang digagas dan dilakukan Kiai Ahmad Dahlan. Selama ini, orang hanya mengerti Muhammadiyah dari konsep modernisasi dan rasionalisasi berdasar praktek Islam dan sosial gerakan ini. Himpunan Putusan Tarjih ditempatkan aktivis dan orang yang ingin memahami Muhammadiyah sebagai data otentik nalar Muhammadiyah. Berikut ini dibahas selintas bagaimana sebenarnya nalar Muhammadiyah tersebut.

Nalar Muhammadiyah
Nalar Muhammadiyah harus dibedakan dari tradisi intelektual Islam yang hingga kini masih belum keluar dari skolastisisme dan kesadaran Sunni yang meniadakan kebebasan kreatif manusia. Namun, memahami nalar Muhammadiyah hanya bisa dilakukan pada sekelumit gagasan dan sejumlah besar aksi sosial dan budaya Kiai Ahmad Dahlan. Sayang, hal ini tidak banyak menarik aktivis persyarikatan di semua tingkatan di hampir sepanjang sejarah gerakan ini.

Para aktivis persyarikatan sudah merasa selesai dengan tarjih dan pengulangan atas berbagai warisan karya Kiai Dahlan. Walaupun tidak banyak dokumen yang bisa dijadikan sumber data tentang gagasan dasar Kiai, namun dari yang sekelumit ini bisa digali ide-ide segar yang besar. Lebih hebat lagi jika bisa digali gagasan-gagasannya di balik seluruh karya monumental kiai dalam berbagai wujud amal-usaha persyarikatan yang mencerminkan sebuah “revolusi sosial dan kebudayaan” Kiai Ahmad Dahlan.

Sebagaimana telah dibahas di atas, Kiai Ahmad Dahlan dengan tegas meletakkan akal (suci) sebagai akar bagi metodologi memahami, menafsir dan mewujudkan nilai Islam dalam kehidupan empirik. Inilah yang kemudian disebut banyak pihak sebagai modernisasi dan rasionalisasi dalam tradisi Muhammadiyah. Sayangnya, nalar rasional ini hanya dipahami sebagai sebuah metode baku dan tradisi, bukan sebagai alat bagi penerapan Islam yang harus berubah dalam kehidupan masyarakat yang berbeda dan berubah.

Bagi Kiai, aksi kebudayaan dan sosial adalah bentuk empirik perwujudan ajaran Islam dalam kehidupan sosial dimana Kiai sangat percaya pada daya kreatif manusia sebagai bukti keyakinan tauhid (iman). Tidak ada perbedaan atau pertentangan antara ilmu, daya kreatif dan keyakinan tauhid, atau iptek dan tafsir Al Quran. Perbedaan keduanya akan terjadi manakala keduanya mengalami kesalahan. Kebenaran iptek dan tafsir ayat dilihat dari fungsi pragmatisnya bagi perbaikan hidup dan kebahagian seluruh umat manusia karena keduanya merupakan kesatuan pengalaman sejarah intelektual.

Kiai sama sekali tidak mempersoalkan iptek yang selama ini dituduh sekuler, Barat dan helenis. Baginya kebenaran Al Quran itu sesuai dan paralel dengan kebenaran sosial dan natural. Kebenaran iptek dan tafsir atas teks dilihat dari fungsi pragmatis mengubah sejarah ke arah lebih baik dan adil. Hal ini bisa dilihat dari kisah penafsiran surat Al-Maun, pendirian sekolah, rumah sakit, dan lainnya.

Dari sini bisa dimengerti bagaimana Kiai dengan gampang memakai pengalaman teknologi kaum kristiani dan pihak kolonial bagi kepentingan umat. Pokok persoalannya ialah bagaimana umat bisa memainkan peran sejarah, menciptakan sendiri dunianya. Untuk itu dikembangkan kerja akal yang selain memerlukan akhlak, juga memerlukan filsafat, sehingga ia menjadi semakin berdaya dan profesional.

Perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari harus dibedakan dari nalar Kiai. Gerakan ini telah mengalami proses ideologisasi dimana lembaga ditempatkan sebagai karya final, sehingga yang terjadi kemudian ialah pengulangan tradisi dan rutinitas. Aktivis gerakan ini tidak amat tertarik memahami fungsi amal-usaha sebagai media bagi pengembangan daya kreatif manusia guna mengubah dan menciptakan dunia sejarahnya sendiri.

Pola kehidupan umat saat ini memang hampir seluruhnya merupakan praktek dari tradisi yang semula dipelopori Muhammadiyah, khususnya Kiai Dahlan. Namun, gagasan yang telah berubah menjadi tradisi ini akan semakin kehilangan peran ketika masyarakat telah berubah jauh berbeda. Tradisi adalah penghentian dan dalam batas tertentu menjadi suatu kematian dari sebuah gagasan.

Karena itu, Muhammadiyah bisa menjadi mati kala gerakan ini mulai berhenti karena hanya menjadi sebuah tradisi. Gejala serupa juga terlihat ketika Al Quran dalam sejarah penafsirannya berubah menjadi sebuah tradisi mati dalam karya-karya ulama klasik. Lembaga pendidikan tinggi dan intelektual hanya mengkaji pemikiran ulama, dan kurang berminat menyusun tafsir baru dari data otentik Al Quran dan Sunnah.

Gejala ini merupakan bias dari Sunnisme sebagai ideologi tunggal kaum santri, seperti halnya Muhammadiyah pasca-kiai. Sebagaimana tradisi Sunni, pandangan dasar Muhammadiyah pasca-kiai tidak ingin memberikan mandat penuh pada otonomi manusia. Kaum santri seperti juga aktivis gerakan ini, hampir selalu menunggu takdir Tuhan untuk mengubah keadaan agar sesuai keinginannya.

Haruslah dipahami, bagi Kiai semua ilmu, juga ilmu yang lahir atas penafsiran Al Quran dan Sunnah adalah tidak sama sekali berlaku dan benar abadi. Kebenaran ilmu bersifat kontekstual dan karena itu ia juga bersifat relatif, mungkin benar dan mungkin pula salah. Benar hari ini, bisa salah di hari esok, bisa benar kembali di tahun-tahun ke depan.

Penutup
Dalam qaidah perguruan, dinyatakan tujuan pendidikan Muhammadiyah ialah: “Terwujudnya manusia muslim yang betakwa, berakhlak mulia, cakap dan percaya kepada diri sendiri, cinta tanah air dan berguna bagi masyarakat dan negara, beramal menuju terwujudnya masyarakat utama adil dan makmur yang diridlai Allah subhanahu wataala.”  Secara ringkas, Keputusan Muktamar 2000 Jakarta menyatakan tujuan pendidikan Muhammadiyah ialah: “Manusia muslim yang berakhlak mulia, cerdas, dan berguna bagi umat dan bangsa.”

Tujuan pendidikan Muhammadiyah di atas agaknya berbeda jika dilihat dari tujuan  pada masa awal gerakan ini berdiri. Waktu itu tujuan pendidikan nampak lebih luas yaitu pembentukan sebuah satuan sosial mandiri bagi penyelamatan dunia sebagai realisasi ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di tengah pergaulan dunia. Melalui pendidikan, Kiai Ahmad Dahlan sedang merancang sebuah dunia baru dan sebuah kesatuan kemanusiaan dalam kemajuan iptek dan peradaban yang dicerahi etika Al Quran.

Konsep di atas bisa dilihat dari tujuan gerakan ini pada masa kepemimpinan Kiai Ahmad Dahlan. Hampir satu abad kemudian, berkembang beragam jenis dan sistem pendidikan; pesantren, madrasah, sekolah umum dan kejujuran. Selain taman kanak-kanak, pendidikan tingkat dasar gerakan ini terdiri dari: 1128 SD dan 1768 MI, tingkat lanjutan: 1179 SMP dan 534 MTs, tingkat menengah: 509 SMU, 249 SMK dan 171 MA, 55 Pesantren dan lebih dari 130 perguruan tinggi.

Macam pendidikan Muhammadiyah dan jumlahnya ini tentu berbeda jauh dibanding masa Kiai Ahmad Dahlan. Pada masa itu hanya dikenal dua jenis pendidikan formal, selain Taman Kanak-Kanak, yaitu: HIS, Schakelschool (3 th, Sekolah Angka 2), Vervolgschool (2 th, Lanjutan Schakelschool), Volksschool (3 th, semula khusus wanita) atau Standaardschool (pria-wanita), MULO dan Sekolah Guru Islam (Kweekschool Islam), HIK, Normaalschool, AMS, HIS mide quran, Kursus Guru dan Mubaligh, serta Madrasah khusus malam hari.

Melalui berbagai program pendidikan dalam artinya yang luas, telah berkembang tradisi baru Islam yang hampir seluruhnya bersumber dari gagasan dasar Muhammadiyah. Penyelenggaran ibadah haji, managemen khutbah dan masjid, salat hari raya, hingga managemen fitrah dan korban serta model pengajian, semula merupakan kegiatan yang dipelopori gerakan ini. Namun karena itu pula Muhammadiyah mulai menghadapi kritik kehilangan etos pembaharuannya, sebagai akibat belum munculnya gagasan baru yang segar.

Kini hampir tidak ada anak-anak keluarga santri yang tidak bersekolah, dan hampir seluruh kegiatan ibadah sosial umat, apakah warga Muhammadiyah atau pengikut organisasi Islam lainnya, dilakukan dengan model managemen yang semula dipelopori Muhammadiyah. Patut pula dicatat meluasnya kesadaran kesehatan kaum santri sesudah Muhammadiyah membuka rumah sakit yang pertama tahun 1923 yang dikenal dengan RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

Namun demikian, pendidikan model Muhammadiyah itu kini menghadapi persoalan baru ketika ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang pesat dan di dalam pola kehidupan sosial yang semakin global. Problem ini berkaitan dengan kesatuan ilmu yang belum terpecahkan di antara ilmu yang dikembangkan dari penafsiran atas teks Al Quran dan Sunnah yang melahirkan ilmu-ilmu agama dan iptek yang dikembangkan melalui pengembangan akal dan penelitian alam dan sosial-humaniora. Problem ini semakin membesar dan serius ketika perguruan Muhammadiyah terus mengembangkan berbagai program studi dalam bidang ilmu alam, teknologi dan sosial-ekonomi tanpa kerangka dasar ilmu yang integral.

Problem tersebut berkait dengan konseptualisasi pendidikan yang hingga kini cenderung normatif yang agaknya berbeda jika dibandingkan dengan orientasi dasar pendidikan yang semula dikembangkan Kiai Ahmad Dahlan. Karena itu penting dikaji kembali pengakuan kebenaran pengetahuan akal dan ilmu kealaman dalam gagasan Kiai Ahmad Dahlan. Demikian pula pengakuan atas kemampuan kebebasan kemandirian kreatif manusia melalui pendidikan filsafat (mantiq), sikap terbuka dan kritis, serta orientasi pembebasan manusia dari penderitaan.

Karena itu, penting bagi gerakan ini untuk membebaskan diri dari ideologisasi Sunni mengenai dilema iktiar bebas dan takdir dengan menempatkan manusia sebagai pelaku otonom dan meletakkan akal dan iptek sebagai praktek keagamaan. Dari sini baru dikembangkan konsep dan model pendidikan yang diharapkan bisa memecahkan berbagai problem kemanusiaan dalam peradaban global. Dan dengan demikian, kerahmatan Islam bagi manusia dan alam serta dunia bisa dibuktikan dalam aksi sosial-budaya dan teori pengetahuan yang fungsional dan pragmatis sekaligus transendental.

*). Naskah ini setelah diberi pengantar disampaikan dalam acara Kajian Ideologi Muhammadiyah dengan topic “Karakter Pemikiran Islam KHA Dahlan” diselenggarakan MPKPPM bekerjasama dengan MPKPWM DIY, tanggal 29 Maret 2009 di Kantor PP Muhammadiyah Jl Cik Ditoro Yogyakarta. Naskah yang sama dengan judul , Kebenaran Ilmu dan Pendidikan dalam Gagasan Kiai Ahmad Dahlan, dimuat Jurnal Veridika (Varia Pendidikan) Vol. XIII No. 22 Juli 2001, hlm 125-135. Lihat juga Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm 192-206. 
Referensi:
  Alfian, Muhammadiyah; The Political Behavior of a Muslim Organization Under Dutch Colonialism, Gadjah Mada University Press, 
   Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Yogyakarta-Jakarta, Bentang Budaya-Ford Foundation, 2001 (cet kedua)
   Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KHA. Dahlan dan Muhammadiyah, Jakarta, Bumi Aksara, 1990,
  Fachroddin, Statuten Reglement dan Extract der Besluit dari Perhimpoenan Moehammadijah Jogjakarta, Kaoeman Jogjakarta, 1921.
   Junus Salam, KHA. Dahlan, Amal dan Perdjoangannja, Djakarta, Depot Pengadjaran Muhammadijah, 1968.
   Farid Ma’ruf, Analisa Achlak dalam Perkembangan Muhammadijah, Yogyakarta, Yogyakarta Offset,
  Ahmad Jainuri, The Formation of The Muhammadiyah Ideology 1912-1942, Montreal, The Institute of Islamic Studies McGill University, 1997.
   PP Muhammadiyah, Almanak Muhammadiyah 1409, Yogyakarta, PPM, 1989.
   Umar Hasyim, Muhammadiyah Jalan Lurus, 1990, Surabaya, Bina Ilmu.
   PP Muhammadiyah, Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah Ke-44, Yogyakarta, 2000, PPM.
   PP Muhammadiyah, Profil Muhammadiyah 2000, Yogyakarta, PPM, 2000.
   H.J. Ibnu Humam, Politik Kolonial dan Pendidikan Muhammadiyah, Yogyakarta, Majelis Pustaka Wilayah, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar