Rabu, 26 Desember 2012

IPM-isasi terus Berjalan (part 1)

IPM kini telah berusia lebih dari setengah abad. Ini menandakan bahwa telah banyak sejarah yang telah ditorehkan oleh IPM. Tidak hanya itu, IPM juga telah melahirkan tokoh-tokoh besar di negeri ini. Hal ini menunjukkan bahwa IPM tidak hanya berkontribusi pada Muhammadiyah tetapi juga bangsa Indonesia.


Sejak IPM lahir sampai sekarang, telah banyak proses dinamika yang dialami oleh IPM. IPM sebagai gerakan dakwah pelajar selalu dihadapkan dengan problematika yang beragam di setiap masanya. Di saat IPM lahir, IPM dihadapkan pada kondisi merebaknya ideologi komunis yang mengarah pada atheisme yang berujung pada upaya untuk mengganti dasar
negara Pancasila. Di Era Orde Baru IPM dihadapkan pada kebijakan pemerintah yang melarang adanya organisasi pelajar di sekolah kecuali OSIS sehingga menuntut IPM harus merubah nama menjadi IRM pada tahun 1992. Pasca reformasi, tahun 2008 saat Muktamar IPM XVI di Surakarta, IRM akhirnya kembali berubah namanya menjadi IPM. Pada saat inilah basis masa IPM yang sebelumnya adalah remaja menjadi fokus pada pelajar.

Namun pada kenyataannya, hingga 4 tahun sejak peneguhan kembali IPM, proses transisi ini tidak dibarengi dengan pemahaman masyarakat pelaku pendidikan di tingkat operasional.  Akibatnya, langkah IPM-isasi di sekolah Muhammadiyah – khususnya di Kabupaten Sleman sedikit tersendat.
Realita yang terjadi di lapangan bisa dibagi menjadi 3 golongan
1.  Sekolah mantap ber-IPM, yaitu sekolah yang telah memahami IPM sebagai gerakan dakwah, kaderisasi, sekaligus organisasi kesiswaan di sekolah. Sayangnya, dari 48 sekolah di kabupaten Sleman, golongan ini termasuk minoritas.
2.   Sekolah dengan dualisme OSIS – IPM, yaitu sekolah yang menerapkan sistem OSIS sebagai organisasi kesiswaan di sekolahnya. Mulai dari struktur, lambang, dan nama bidang memakai rujukan OSIS. Namun ketika menghadiri kegiatan IPM atau Muhammadiyah, tiba-tiba nama OSIS berubah menjadi IPM. Dalam pandangan golongan ini, IPM tidak jauh berbeda dengan OSIS, hanya namanya saja yang berbeda.
3.   Sekolah murni OSIS, yaitu sekolah yang menerapkan secara utuh sistem OSIS sebagai gerakan kesiswaan di sekolahnya. Adapun IPM hanya ditempatkan sebagai kegiatan ekstrakulikuler yang tidak memiliki legalitas pasti di sekolah. Implikasinya, ada atau tidaknya IPM tidak akan berpengaruh kepada proses kependidikan di sekolah.
Dari realita di atas, poin nomor 2 menduduki peringkat kuantitas pertama, lebih dari 50% sekolah Muhammadiyah di kabupaten Sleman masih menerapkan pemahaman nomor 2. Sedangkan golongan nomor 1 memiliki presentase sekitar 40%. Artinya, ada belasan sekolah dari 48 SMP, SMA dan SMK di Sleman yang benar-benar menerapkan IPM di sekolahnya. Sisanya menempati golongan ke 3. Tentu ini menjadi sebuah PR besar bagi IPM Sleman saat ini. Sebelum bicara banyak tentang ideologi dan gerakan pelajar dengan buntut panjangnya, keseragaman langkah menjadi syarat penting dari perubahan besar yang menjadi cita cita IPM.
“Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh” (as-Shaff: 4)

..to be continous.......,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar